Aku masih duduk
disebelah ranjang sahabatku. Beberapa hari ini dia terbaring lemah karena sakit
yang aku sendiri menganggapnya cukup unik. dia adalah manusia yang sangat
menjaga kesehatannya, dan cukup heran saat dia sakit. Maklum, dia rutin check
up tiap beberapa bulan sekali. Beda dengan sahabatnya ini. Hahaha.
Perlahan lahan dia
membuka matanya yang sedari tadi tertutup rapat. Tampak sekali ia tertidur
dengan tidak pulas karena kondisi tubuhnya.
“udah lama dateng?” katanya
sambil mencoba untuk berposisi duduk.
“yah sekitar dua bulanan” kataku
menghibur
“tak kira begitu lahir langsung duduk disini” jawabnya mencoba lucu
Aku cukup kasihan
melihat kondisinya yang seperti itu. Dia dikenal sebagai orang yang periang,
murah senyum, dan yang jelas dia sangat humoris. Tapi kini ia terbaring lemah
diatas kasurnya. Didalam kamarnya yang singup,
dan agak ngeri.
“Kenapa kamu mau dateng kesini?” Tanyanya
agak serius
“Lha yo aku ini kan temenmu dari kecil to?
Masa iya sakit aja nggak mau nengokin..” kataku mencoba mencairkan dialog
“syukurlah aku masih ada yang merhatiin, ada yang masih
mau baik” jawabnya sedikit lirih.
Saat dia menjawab
tadi, aku tau kalau dia agak sedikit menahan emosi dari dalam dirinya. Tampak
dari matanya yang semakin sembab, suaranya yang bergetar lirih. Dia memang tipe
manusia yang sensitif sekali
perasaannya. Sudah entah berapa kali aku melihatnya menitikkan air mata saat
kondisi kondisi yang mengharukan muncul.
”kamu itu sebenernya kenapa to?” tanyaku sedikit ingin tahu masalah yang sebenarnya. Karena kata sang
ibu, pada saat dia dibawa ke dokter, sang dokter hanya bilang kalau dia sedang down, mungkin ada pikiran atau sesuatu
yang membuatnya sedih atau tertekan.
“kamu og kepo e?” jawabnya berusaha
sambil tersenyum,
“lha ya kamu ini kan anaknya begajigan, biayakan, geguyon
terus, sekarang lungkrah lemes nggak ada semangatnya sama sekali”
“malah ngece kamu itu Din” jawabnya lagi sambil mengambil sebuah tas
kecil yang terbuat dari kertas berwarna coklat.
“apa itu?” tanyaku sedikit
bingung atas tindakannya
“ya ini yang jadi sumber semuanya..” katanya sambil menatap sayu tas itu yang dia serahkan padaku.
Aku mencoba menduga
apa isinya. Obat beracun-kah? Makanan kadaluarsa-kah? Atau kaos kaki yang
dicuci setahun sekali?
“batik?” kataku bingung. Aku menatap
tajam batik itu, motifnya bagus dan jarang, aku sedikit tahu tentang batik
karena di SD dulu ada mata pelajaran membatik, dan yang sedang ada ditanganku
saat ini adalah motif batik yang didalam lingkup keraton hanya para bangsawan
kelas tinggi yang boleh memakai.
“ya, itu sumbernya” jawabnya
dengan suara sedikit bergetar tampak seperti menahan sesuatu perasaan yang
mendalam.
“Maksudnya gimana toh?” kataku
kebingungan
“aku nyoba kerja buat beli batik itu” jawabnya singkat
“Ya Tuhan.. kamu ini ngapain neko neko ndadak
kerja segala buat ini. Lha mbok ambil tabungan to lebih gampang. Malah marai
sakit gini kan” kataku heran. Aku tau dia punya lumayan simpanan di bank,
dan dia sering traktir sahabat sahabatnya juga. Keherananku selanjutnya adalah
dia ini dari kecil kami main bersama sampai sekarang meskipun udah beda tempat
menimba ilmu, dia selalu dimanjakan oleh orang tuanya. Pantas saja dia sakit, wong jarang kerja fisik, sekali nyoba
langsung tepar.
“aku pengen ngerasain gimana rasanya berkorban untuk
orang yang kita sayangi, pencapaian besar harus diawali pengorbanan yang besar
juga” jawabnya sambil mengambil smartphonenya yang
touchscreen itu.
Terus terang aku
merasa sedikit merinding mendengar
jawaban seperti itu. Jawaban yang muncul bukan dari hasil olah pikir, tapi atas
pengolahan hati dan kekuatan jiwa.
“kamu kenal dia kan?” sambungnya
lagi sambil menunjukkan foto seseorang dalam smartphonenya itu.
“jelas lah.. kamu mau ngasih dia?” tanyaku
“udahlah.. beberapa hari yang lalu..” jawabnya
Beberapa hari yang
lalu? Aku semakin bingung dengan jawabannya. Ini aku yang nggak dong apa dia
yang ngelantur bicaranya gara gara baru sakit?
Melihat wajahku
yang tampak kebingungan, dia meneruskan bicaranya. “aku udah kasih itu ke orangnya, tapi ya itu”
Kini mulailah dia
menitikkan air mata, sedikit penyesalanku muncul, kenapa harus menemui adegan
sedih kayak gini.
“tapi ya itu apa?” sambungku
“dia nggak mau”
“lha kenapa?” tanyaku mulai memahami
‘inti’ sakitnya dia ini
“ya entah, mungkin nggak suka modelnya, murahan, apa
nggak suka sama yang ngasih ya nggak tau juga” jawabnya
dengan rona wajah sedikit kecewa
bersambung ke
BATIK PENCABIK (lembar dua)