aku ada karena aku berfikir . .

*****

Selasa, 01 Januari 2013

BATIK PENCABIK (lembar satu)


Aku masih duduk disebelah ranjang sahabatku. Beberapa hari ini dia terbaring lemah karena sakit yang aku sendiri menganggapnya cukup unik. dia adalah manusia yang sangat menjaga kesehatannya, dan cukup heran saat dia sakit. Maklum, dia rutin check up tiap beberapa bulan sekali. Beda dengan sahabatnya ini. Hahaha.
Perlahan lahan dia membuka matanya yang sedari tadi tertutup rapat. Tampak sekali ia tertidur dengan tidak pulas karena kondisi tubuhnya.

“udah lama dateng?” katanya sambil mencoba untuk berposisi duduk.

“yah sekitar dua bulanan” kataku menghibur

“tak kira begitu lahir langsung duduk disini” jawabnya mencoba lucu

Aku cukup kasihan melihat kondisinya yang seperti itu. Dia dikenal sebagai orang yang periang, murah senyum, dan yang jelas dia sangat humoris. Tapi kini ia terbaring lemah diatas kasurnya. Didalam kamarnya yang singup, dan agak ngeri.

Kenapa kamu mau dateng kesini?” Tanyanya agak serius

Lha yo aku ini kan temenmu dari kecil to? Masa iya sakit aja nggak mau nengokin..” kataku mencoba mencairkan dialog

“syukurlah aku masih ada yang merhatiin, ada yang masih mau baik” jawabnya sedikit lirih.

Saat dia menjawab tadi, aku tau kalau dia agak sedikit menahan emosi dari dalam dirinya. Tampak dari matanya yang semakin sembab, suaranya yang bergetar lirih. Dia memang tipe manusia yang sensitif sekali perasaannya. Sudah entah berapa kali aku melihatnya menitikkan air mata saat kondisi kondisi yang mengharukan muncul.

”kamu itu sebenernya kenapa to?” tanyaku sedikit ingin tahu masalah yang sebenarnya. Karena kata sang ibu, pada saat dia dibawa ke dokter, sang dokter hanya bilang kalau dia sedang down, mungkin ada pikiran atau sesuatu yang membuatnya sedih atau tertekan.

“kamu og kepo e?” jawabnya berusaha sambil tersenyum,

“lha ya kamu ini kan anaknya begajigan, biayakan, geguyon terus, sekarang lungkrah lemes nggak ada semangatnya sama sekali”

“malah ngece kamu itu Din”  jawabnya lagi sambil mengambil sebuah tas kecil yang terbuat dari kertas berwarna coklat.

“apa itu?” tanyaku sedikit bingung atas tindakannya

“ya ini yang jadi sumber semuanya..” katanya sambil menatap sayu tas itu yang dia serahkan padaku.
Aku mencoba menduga apa isinya. Obat beracun-kah? Makanan kadaluarsa-kah? Atau kaos kaki yang dicuci setahun sekali?

batik?” kataku bingung. Aku menatap tajam batik itu, motifnya bagus dan jarang, aku sedikit tahu tentang batik karena di SD dulu ada mata pelajaran membatik, dan yang sedang ada ditanganku saat ini adalah motif batik yang didalam lingkup keraton hanya para bangsawan kelas tinggi yang boleh memakai.

“ya, itu sumbernya” jawabnya dengan suara sedikit bergetar tampak seperti menahan sesuatu perasaan yang mendalam.

Maksudnya gimana toh?” kataku kebingungan

“aku nyoba kerja buat beli batik itu” jawabnya singkat

Ya Tuhan.. kamu ini ngapain neko neko ndadak kerja segala buat ini. Lha mbok ambil tabungan to lebih gampang. Malah marai sakit gini kan” kataku heran. Aku tau dia punya lumayan simpanan di bank, dan dia sering traktir sahabat sahabatnya juga. Keherananku selanjutnya adalah dia ini dari kecil kami main bersama sampai sekarang meskipun udah beda tempat menimba ilmu, dia selalu dimanjakan oleh orang tuanya. Pantas saja dia sakit, wong jarang kerja fisik, sekali nyoba langsung tepar.

“aku pengen ngerasain gimana rasanya berkorban untuk orang yang kita sayangi, pencapaian besar harus diawali pengorbanan yang besar juga” jawabnya sambil mengambil smartphonenya yang touchscreen itu.

Terus terang aku merasa sedikit merinding mendengar jawaban seperti itu. Jawaban yang muncul bukan dari hasil olah pikir, tapi atas pengolahan hati dan kekuatan jiwa.

“kamu kenal dia kan?” sambungnya lagi sambil menunjukkan foto seseorang dalam smartphonenya itu.
jelas lah.. kamu mau ngasih dia?” tanyaku

udahlah.. beberapa hari yang lalu..” jawabnya

Beberapa hari yang lalu? Aku semakin bingung dengan jawabannya. Ini aku yang nggak dong apa dia yang ngelantur bicaranya gara gara baru sakit?

Melihat wajahku yang tampak kebingungan, dia meneruskan bicaranya. “aku udah kasih itu ke orangnya, tapi ya itu”

Kini mulailah dia menitikkan air mata, sedikit penyesalanku muncul, kenapa harus menemui adegan sedih kayak gini.

tapi ya itu apa?” sambungku

dia nggak mau”

lha kenapa?” tanyaku mulai memahami ‘inti’ sakitnya dia ini

“ya entah, mungkin nggak suka modelnya, murahan, apa nggak suka sama yang ngasih ya nggak tau juga” jawabnya dengan rona wajah sedikit kecewa

bersambung ke
BATIK PENCABIK (lembar dua)