aku ada karena aku berfikir . .

*****

Senin, 24 Desember 2012

Slekethep Curhat (sesi satu)

Ini adalah kisah yang terjadi dimana banyak nilai nilai kebaikan insyaallah dapat diambil darinya.

Alkisah suatu sore aku didatangi seorang teman akrab yang ternyata kedatangannya memberikan cakrawala pemahaman yang cukup mendalam bagiku. Sebut saja dia slekethep. Seorang laki laki dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, namun tidak pas juga kalau disebut pendek. Meskipun dia dikenal slengekan tapi nyatanya ada hal besar darinya yang bisa ku tulis disini untuk berbagi.

Kedatangannya saat itu memang berbeda dari biasanya. Kalau umumnya dia selalu datang memberi kabar, kali itu tidak. Dia tidak memberi kabar kalau mau berkunjung, alasannya ada yang mau disampaikan. Karena memang tidak bertabrakan dengan agenda lain, maka akupun mempersilakannya.

Dia langsung bercerita masalah yang membuat saya tercengang, kaget, shock, dan lain sebagainya. Dia mengaku bahwa dia selama ini menyembunyikan sebuah perbedaan pada dirinya. Perbedaan yang menjadi hujatan bagi banyak orang. Dia mengumpamakan dirinya sebagai magnet. Perumpamaan yang diambil ini sebenarnya memang dapat mewakili kondisi yang ada pada dirinya.

Dia memberikan perumpamaan, magnet itu pada umumnya bertolak belakang. Maksudnya, kutub magnet bagian utara menarik kutub magnet bagian selatan. Begitu juga sebaliknya. Namun ada juga magnet limited editions yang mampu menarik dua kutub sekaligus. Magnet ini memang unik karena menarik sesuatu yang memang biasanya ditarik dan menarik yang biasanya ditolak.

Awalnya aku sangat tidak memahami apa yang dimaksudkan olehnya, maklum dia memang sering menggunakan bahasa yang cukup njlimet dan hobi menggunakan analogi yang membuat siapa saja yang mendengar pasti akan tertarik dengan pembicaraannya.

Dan mungkin karena keawamanku terhadap perumpamaan itu, akhirnya dia sedikit demi sedikit memberi kunci kunci pembuka. Yang dia maksud dengan kutub magnet itu sendiri adalah jenis kelamin. Sehingga kesimpulan dari perumpamaan magnet magnet itu tadi adalah bahwa dia adalah seseorang dengan perbedaan yang dia menyukai seorang wanita, namun dengan laki laki ia juga bisa suka, biseks mungkin lebih tepatnya.

Kaget, terkejut, shock, dan perasaan lain lain tercampur aduk menjadi satu. Seorang karibku ternyata memiliki perbedaan dimana diluar sana hal itu menjadi bahan cemoohan bahkan hujatan bagi mayoritas orang.

Seusai pengakuan itu, sebagai karib yang jahat –semoga Tuhan mengampuni kesalahan kesalahanku- aku justru semakin menjauhinya, mendiamkannya, dan menunjukkan sikap sikap sebagai orang yang suci dan lebih baik daripada dia, menghindar pada saat berpapasan, membicarakan perbedaanya itu kepada rekan yang lain, dsb. sungguh sebuah perbuatan yang teramat dzolim.

Mengapa aku berbuat demikian? Karena aku heran, dia ku kenal sebagai orang yang baik, sangat peduli ke orang orang, meskipun agak slengekan, alim bahkan dia cukup intens dalam mendalami ilmu agama. Point terakhir itulah yang membuatku sangat heran. Aku menilai dan merasa dia salah, tidak normal, kelainan, dan mungkin agak (maaf) menjijikkan. Semakin hari semakin menjauhi dia, jarang menyapa, kalau dia mengirim sms, ku jawab dengan kalimat jawaban dan tempo yang sesingkat singkatnya.

Sampai suatu hari dia mengajakku bertemu untuk memperbaiki kondisi yang tidak menyenangkan pasca pengakuan itu, dia memberiku sebuah pengetahuan yang menunjukkan lebih dalam lagi bahwa Tuhan itu Maha Berkehendak, Tuhan Maha Hebat, dan ini Tuhan Maha Kreatif!

“Mengapa kamu semakin menjauhiku semenjak kamu mengetahui sisi perbedaanku?” Tanya temanku. “Kamu kaget? Atau malah jijik?” tambahnya

Aku yang merasa tidak enak dengan pernyataan itu akhirnya terpaksa menjawab. “Ya. Kuranglebih seperti yang kamu bilang itu”

Dia (anehnya) justru tersenyum ikhlas sembari menjawab “tidak masalah kamu mau bersikap bagaimanapun kepadaku. Tapi sebelumnya kalau boleh aku minta tolong satu hal, tolong gambarkan sebagus-bagusnya seekor sapi.

Lalu dalam kondisi bingung, akupun berusaha sebaik mungkin menggambar sapi, karena memang hobiku melukis maka tak membutuhkan waktu lama lukisan (sketsa) sapi itupun jadi.

Namun apa yang terjadi? setelah selesai menggambar, dia lalu melihat hasil goresan pulpenku itu, dia tersenyum kecut sambil berkata, “sudah kuminta membuat sapi, malah menggambar yang lain. Kalau bagus sih ndak masalah. lha ini? Moncongnya nekuk, ekornya tipis (dst)”

Akupun mulai mendidih, aku yang selama ini (bukan bermaksud sombong) juga suka dengan dunia melukis dan dia yang justru melukis saja tidak bisa, malah mengejek habis habisan. sudah disuruh menggambar sapi, begitu jadi gambarnya, malah dijelek jelekkan. Kalau dia master gambar gitu sih oke oke aja, lha dia?

lha kamu itu melukis aja nggak bisa kok njelek njelekin lukisanku. Sudah dibuatin nggak terimakasih malah ngguroni (menggurui). Kalau nggak suka ya mbok buat sendiri sana kayak yang tok pingini” ucapku mulai terpancing emosi.

Dia yang menlihat aku emosi justru tersenyum tenang. Ini yang menjadi awal tersentaknya pemikiranku. Dia justru memberikan pemahaman yang luar biasa bagiku. Dia menjawab “begitulah sama denganNya” (sambil dia menunjuk ke atas –yang dimaksud Tuhan-).

“Maksudnya?” kataku yang mulai bingung

“Kalau seseorang yang sudah ahli nggambar, diminta nggambar sapi, terus gambarannya itu dihina, dijelekin, bahkan yang menghina itu menggurui yang nggambar padahal si penghina itu sendiri nggambar aja ndak bisa. Sekarang aku tanya, yang berhak marah adalah gambarnya atau yang membuat gambar?” Tanya slekethep sambil masih tersenyum tenang

“Ya yang buat gambar lah. Wong dia yang membuat kok. Kalo gambarnya kan manut yang nggambar to! Itu cah SD we tau!” kataku agak membentak.

begitulah sama denganNya” (sambil dia menunjuk ke atas lagi). “Dia yang berhak marah kalau ciptaanNya dihina, didiamkan, dsb gara gara sesuatu dimana itu merupakan bentukan Tuhan. sebesar apa hinaan ejekan orang kepadaku atas perbedaanku ini, aku sekali lagi tidak akan marah, karena yang berhak marah itu Sang Pembuat, bukan hasil buatanNya”

Mendengar jawaban seperti itu aku terdiam menyesal sangat dalam dan belum pernah semenyesal saat itu. Benar kata dia. Sudah berapa kali aku mempermalukan Tuhan atas hasil ciptaanNya?

Kalau Tuhan menjawablha kamu itu mencipta aja nggak bisa kok njelek njelekin ciptaanku. Sudah dicipta, nggak terimakasih, malah ngguroni. Kalau nggak suka sama ciptaaKu ya mbok buat sendiri sana kayak yang tok pingini” kamu bakal nyanggah gimana?”

Sekali lagi dia membuatku terdiam menyesal. Aku selama ini telah mengolok olok ciptaan Tuhan secara langsung dan mengolok olok Tuhan secara tidak langsung.

Namun aku tidak berhenti dan menyerah disitu, aku mengeluarkan senjata pamungkas. Kisah kaum nabi Luth dalam Quran!

-bersambung ke :