Ini adalah
kisah yang terjadi dimana banyak nilai nilai kebaikan insyaallah dapat diambil
darinya.
Alkisah suatu
sore aku didatangi seorang teman akrab yang ternyata kedatangannya memberikan
cakrawala pemahaman yang cukup mendalam bagiku. Sebut saja dia slekethep. Seorang
laki laki dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, namun tidak pas juga
kalau disebut pendek. Meskipun dia dikenal
slengekan tapi nyatanya ada hal besar darinya yang bisa ku tulis disini
untuk berbagi.
Kedatangannya
saat itu memang berbeda dari biasanya. Kalau umumnya dia selalu datang memberi
kabar, kali itu tidak. Dia tidak memberi kabar kalau mau berkunjung, alasannya ada
yang mau disampaikan. Karena memang tidak bertabrakan dengan agenda lain, maka akupun
mempersilakannya.
Dia langsung
bercerita masalah yang membuat saya tercengang, kaget, shock, dan lain
sebagainya. Dia mengaku bahwa dia selama ini menyembunyikan sebuah perbedaan pada dirinya. Perbedaan yang menjadi
hujatan bagi banyak orang. Dia mengumpamakan dirinya sebagai magnet.
Perumpamaan yang diambil ini sebenarnya memang dapat mewakili kondisi yang ada
pada dirinya.
Dia memberikan
perumpamaan, magnet itu pada umumnya bertolak belakang. Maksudnya, kutub magnet
bagian utara menarik kutub magnet bagian selatan. Begitu juga sebaliknya. Namun
ada juga magnet limited editions yang
mampu menarik dua kutub sekaligus. Magnet ini memang unik karena menarik
sesuatu yang memang biasanya ditarik dan menarik yang biasanya ditolak.
Awalnya aku
sangat tidak memahami apa yang dimaksudkan olehnya, maklum dia memang sering
menggunakan bahasa yang cukup njlimet
dan hobi menggunakan analogi yang membuat siapa saja yang mendengar pasti akan
tertarik dengan pembicaraannya.
Dan mungkin
karena keawamanku terhadap perumpamaan itu, akhirnya dia sedikit demi sedikit
memberi kunci kunci pembuka. Yang dia maksud dengan kutub magnet itu sendiri
adalah jenis kelamin. Sehingga kesimpulan dari perumpamaan magnet magnet itu
tadi adalah bahwa dia adalah seseorang dengan perbedaan yang dia menyukai seorang wanita, namun dengan laki laki
ia juga bisa suka, biseks mungkin lebih tepatnya.
Kaget,
terkejut, shock, dan perasaan lain lain tercampur aduk menjadi satu. Seorang
karibku ternyata memiliki perbedaan dimana diluar sana hal itu menjadi bahan
cemoohan bahkan hujatan bagi mayoritas orang.
Seusai pengakuan itu, sebagai karib yang jahat
–semoga Tuhan mengampuni kesalahan kesalahanku- aku justru semakin menjauhinya,
mendiamkannya, dan menunjukkan sikap sikap sebagai orang yang suci dan lebih
baik daripada dia, menghindar pada saat berpapasan, membicarakan perbedaanya itu kepada rekan yang lain,
dsb. sungguh sebuah perbuatan yang teramat dzolim.
Mengapa aku
berbuat demikian? Karena aku heran, dia ku kenal sebagai orang yang baik, sangat
peduli ke orang orang, meskipun agak slengekan, alim bahkan dia cukup intens
dalam mendalami ilmu agama. Point terakhir itulah yang membuatku sangat heran.
Aku menilai dan merasa dia salah, tidak normal, kelainan, dan mungkin agak (maaf) menjijikkan. Semakin hari semakin
menjauhi dia, jarang menyapa, kalau dia mengirim sms, ku jawab dengan kalimat jawaban
dan tempo yang sesingkat singkatnya.
Sampai suatu
hari dia mengajakku bertemu untuk memperbaiki kondisi yang tidak menyenangkan
pasca pengakuan itu, dia memberiku sebuah pengetahuan yang menunjukkan lebih
dalam lagi bahwa Tuhan itu Maha Berkehendak, Tuhan Maha Hebat, dan ini Tuhan
Maha Kreatif!
“Mengapa kamu semakin menjauhiku semenjak kamu
mengetahui sisi perbedaanku?” Tanya temanku.
“Kamu kaget? Atau malah jijik?” tambahnya
Aku yang
merasa tidak enak dengan pernyataan itu akhirnya terpaksa menjawab. “Ya. Kuranglebih seperti yang kamu bilang
itu”
Dia (anehnya)
justru tersenyum ikhlas sembari menjawab “tidak
masalah kamu mau bersikap bagaimanapun kepadaku. Tapi sebelumnya kalau boleh
aku minta tolong satu hal, tolong gambarkan sebagus-bagusnya seekor sapi.
Lalu dalam
kondisi bingung, akupun berusaha sebaik mungkin menggambar sapi, karena memang
hobiku melukis maka tak membutuhkan waktu lama lukisan (sketsa) sapi itupun
jadi.
Namun apa yang
terjadi? setelah selesai menggambar, dia lalu melihat hasil goresan pulpenku
itu, dia tersenyum kecut sambil berkata, “sudah
kuminta membuat sapi, malah menggambar yang lain. Kalau bagus sih ndak masalah.
lha ini? Moncongnya nekuk, ekornya tipis (dst)”
Akupun mulai
mendidih, aku yang selama ini (bukan bermaksud sombong) juga suka dengan dunia
melukis dan dia yang justru melukis saja tidak bisa, malah mengejek habis
habisan. sudah disuruh menggambar sapi, begitu jadi gambarnya, malah dijelek
jelekkan. Kalau dia master gambar gitu sih oke oke aja, lha dia?
“lha kamu itu melukis aja nggak bisa kok
njelek njelekin lukisanku. Sudah dibuatin nggak terimakasih malah ngguroni
(menggurui). Kalau nggak suka ya mbok buat sendiri sana kayak yang tok pingini”
ucapku mulai terpancing emosi.
Dia yang
menlihat aku emosi justru tersenyum tenang. Ini yang menjadi awal tersentaknya
pemikiranku. Dia justru memberikan pemahaman yang luar biasa bagiku. Dia
menjawab “begitulah sama denganNya” (sambil
dia menunjuk ke atas –yang dimaksud Tuhan-).
“Maksudnya?” kataku yang mulai bingung
“Kalau seseorang yang sudah ahli nggambar, diminta
nggambar sapi, terus gambarannya itu dihina, dijelekin, bahkan yang menghina
itu menggurui yang nggambar padahal si penghina itu sendiri nggambar aja ndak
bisa. Sekarang aku tanya, yang berhak marah adalah gambarnya atau yang membuat gambar?” Tanya slekethep sambil masih tersenyum tenang
“Ya yang buat gambar lah. Wong dia yang membuat kok.
Kalo gambarnya kan manut yang nggambar to! Itu cah SD we tau!” kataku agak membentak.
“begitulah sama denganNya” (sambil dia
menunjuk ke atas lagi). “Dia yang berhak
marah kalau ciptaanNya dihina, didiamkan, dsb gara gara sesuatu dimana itu
merupakan bentukan Tuhan. sebesar apa hinaan ejekan orang kepadaku atas
perbedaanku ini, aku sekali lagi tidak akan marah, karena yang berhak marah itu
Sang Pembuat, bukan hasil buatanNya”
Mendengar
jawaban seperti itu aku terdiam menyesal sangat dalam dan belum pernah
semenyesal saat itu. Benar kata dia. Sudah berapa kali aku mempermalukan Tuhan
atas hasil ciptaanNya?
“Kalau Tuhan menjawab “lha kamu itu mencipta aja nggak bisa kok
njelek njelekin ciptaanku. Sudah dicipta, nggak terimakasih, malah ngguroni.
Kalau nggak suka sama ciptaaKu ya mbok buat sendiri sana kayak yang tok
pingini” kamu bakal nyanggah gimana?”
Sekali lagi
dia membuatku terdiam menyesal. Aku selama ini telah mengolok olok ciptaan
Tuhan secara langsung dan mengolok olok Tuhan secara tidak langsung.
Namun aku
tidak berhenti dan menyerah disitu, aku mengeluarkan senjata pamungkas. Kisah kaum nabi Luth dalam Quran!
-bersambung ke :